Senin, 06 Juli 2009

Balada Yoyo dan Elly

ini Bab ke sekian dari buku yg saya kerjakan. err-- kira2 seperti ini gambaran umumnya, hmmm. tolong masukannya yah. thanks

Yoyo, Januari 2002

Saat itu umurku 22 tahun, baru saja bergabung dengan grup music Avian Flu, salah satu band yang baru saja dibentuk dengan dua orang sahabatku sejak SMA, Irwin dan Sandy. Irwin sebagai vokalisnya, dan Sandy sebagai Keyboardist, sementara aku di posisi gitaris, paling keren menurutku. Band ini baru saja didirikan oleh Dervin Ardiansyah, salah seorang pentolan grup music Bagasi yang lebih dulu punya nama, tapi karena ketidakcocokan dan segala macam akhirnya Dervin yang bermain bass memutuskan keluar dari Bagasi Band dan membentuk grup music baru, yaitu Avian Flu, bersama satu orang lagi sebagai drummer bernama Ibonk.

Hari itu sangat panas, dan kami baru saja menyelesaikan satu lagu rekaman untuk demo kami, dan sudah saatnya makan siang sehingga kami memutuskan untuk istirahat. Aku memutuskan untuk merokok sebentar di studio, saat aku melihat sekelompok anak SMP mendekatiku dengan malu-malu.

“Eee… Benar ini studionya.. ee..Dervin? Ee… Dervinnya ada?” Tanya seorang anak perempuan yang gendut sambil malu-malu.

“Iya. Kalian siapa?” tanyaku. Alih-alih menjawab pertanyaanku anak perempuan itu malah berbalik menuju teman-temannya yang berdiri agak jauh. Benar-benar tidak sopan. Aku rasa mereka sepertinya sedang berdiskusi. Aku memperhatikan mereka dengan seksama, sambil mengisap rokok ku. Ada lima orang, semuanya memakai seragam putih-biru, dua orang perempuan dan tiga orang anak laki-laki. Anak perempuan yang bertanya tadi bertubuh gemuk, bulat seperti bakso. Anak perempuan temannya, lebih kurus, tapi juga berisi. Ada sepasang anak laki-laki kembar, kembar identik, keduanya sama-sama kulit hitam, bermata agak sipit, bertelinga lebar, dan sama-sama tinggi. Yang membedakan hanya model rambutnya saja, satuyna berambut kaku berdiri, mungkin pakai gel, yang satunya lagi rambutnya dibiarkan jatuh begitu saja. Dan seorang lagi anak laki-laki bertopi yang banyak bicaranya tapi sepertinya penakut. Dari mana aku tahu? Aku bisa menyimpulkan itu dari pembicaraan mereka.

“Heeeyy.. gentian.. kau lagi yang bertanya!” anak perempuan gendut itu mendorong temannya yang perempuan.
“Ndak sopan mu! Itu kan Aryo Nugroho!” anak perempuan yang satunya protes. “kenapa langsung pergi… nanti dia marah…”
“Iya, susah sekali. Cuma ke sana, minta ketemu dervin, minta ttdnya, trus pulang. kenapa takut sekali.. tidak makan orang ji itu…” Anak laki-laki bertopi itu meyakinkan.
“Ya sudah, kau saja yang ke sana!” tantang anak gendut itu, tapi temannya yang bertopi justru balik berargumen. Saat detik ini, aku sudah tidak tertarik lagi dengan mereka. Jelas-jelas mereka hanya fans yang ingin minta tanda tangan.

Mereka masih berdebat memutuskan siapa yang akan maju. Aku agak tersinggung sih, kenapa mereka setakut itu berhadapan denganku, padahal seandainya mereka minta baik-baik, pasti akan aku biarkan mereka masuk. Bahkan jika aku teramat sangat baik, aku juga akan memberikan tanda tanganku untuk mereka, meskipun aku belum terkenal. Tapi aku terlalu malas untuk melakukan itu, aku terlalu malas untuk berbicara meladeni mereka. Biarlah kunikmati sebatang rokok yang kuhisap di mulutku. Di studio tidak bisa merokok, makanya kesempatan keluar ini kugunakan sebaiknya bersama teman setiaku itu.
Aku rasa anak-anak itu sangat beruntung hari itu,karena tidak lama kemudian, Dervin keluar hendak mengajakku makan siang, kemudian dia melihat anak-anak itu.

“Yo, ndak makan? Eh, siapa mereka?”

“Mereka mencarimu. Sepertinya mau minta tanda tangan,” jawabku. Anak SMP itu terkejut, matanya membelalak dan mulutnya menganga begitu melihat Dervin. Kaget. Apa karena Dervin waktu itu tidak mengenakan baju dan memperlihatkan tattoo di seluruh badannya? Atau kaget karena idola pujaan mereka mendekat dan menyapa mereka?

“oh, Halo adik. Ada apa?” Tanya dervin. Aku tahu Dervin ramah, dan memang Dervin terkenal sangat ramah.

Setelah didorong oleh temannya, si kembar yang rambutnya model cepak maju dan memberanikan diri bertanya “kak.. boleh minta tanda tangannya?” tanyanya dengan logat Makassar yang kental. Waktu itu aku masih orang baru di Makassar, dan logatnya itu masih terasa asing di telingaku.

“bolehhhh…. Tapiii… ada syaratnyaaaa..:” jawab Dervin.
“Apa?” Tanya anak yang paling gendut dengan suaranya yang serak.
“Kalian temani kakak makan siang di dalam yahhhh….!”

Apa? Apa aku tidak salah dengar? Anak-anak SMP itu sama terkejutnya dengan aku, mereka tidak langsung menjawab, tapi saling pandang dengan rasa tidak percaya, juga agak cemas.

“Tidak apa-apa, di sini banyak orang kok, dijamin aman di dalam. Makanannya juga enak. Yah?” Tanya dervin lagi. Astaga, aku tahu Dervin itu ramah dengan penggemarnya, tapi tidak seRAMAH ini, sampai mengajak fansnya ikut makan siang bersama di studio. Pantas saja dia pindah dari Ibu kota, pasti karena semua fans yang datang dan pernah menerima keramahtamahannya selalu kembali dan berharap mendapat sambutan yang sama. Tapi kalau semua orang ingin diperlakukan special, apa Dervin tidak capek? PAntas saja dia sering bermasalah dengan fansnya, bahkan ada fans yang nekat masuk ke dalam rumahnya di Bandung, berkata Dervin akan segera menikahinya hanya karena Dervin pernah bilang “I love u too” lewat sms yang dikirimkannya, tentu saja hanya sebatas idola dengan fansnya, tapi gadis itu meng-salah artikan, karena Dervin baiknya tidak ketulungan.

Akhirnya setelah cukup lama anak SMP itu saling pandang, lalu si kembar yang rambutnya tidak cepak berkata iya, tapi mereka tidak bisa lama-lama. Yoyo mengiyakan dan mengajak mereka masuk, tidak lupa juga mengajak ku.

“Yo,. Makan yuk!” itu Dervin memanggilku.

“Iya, setengah batang lagi!” Aku sebenarnya tidak mau makan, tapi aku tertarik dengan apa yang dilakukan Dervin. Penasaran mungkin, ingin tahu Dervin seramah apa. Aku baru 3 bulan ini mengenalnya, dan dia tidak pernah berhenti membuat kejutan baru untukku. Akhirnya begitu rokokku habis dan kumatikan, aku segera masuk ke dalam, menuju ruang tamu yang juga dipakai sebagai ruang makan. Kudapati anak-anak SMP itu duduk melantai dengan masing-masing sebuah piring di tangan mereka berisi nasi dan lauk pauk, asik bercerita dengan Dervin dan Ibonk, yang memang sudah terkenal duluan dibandingkan aku, Sandy atau Irwin. Tapi Sandy ada dekat mereka, dan sesekali juga terkena cipratan pertanyaan dari anak-anak itu. Aku duduk agak jauh dari mereka, di dekat meja makan, di samping Irwin. Begitu melihatku, Irwin tersenyum sambil memukul pundakku.

“Hehe.. Dervin itu baik yah.” Katanya.
“iya.. begitulah.”
“Tapi kenapa harus anak SMP sihhh… coba cewek ABG,, anak SMA atau anak kuliahan lah.. hehehe”
“hey, kita sendiri baru semester 3! Cewek melulu, ntar aku adukan ke Sari loh..”
“biarin, kan masih ada Asti, hehehehe…” kata Irwin sambil nyegir. Irwin memang playboy, paling tidak bisa lihat cewek cantik. Tapi soal menyanyi dia ahlinya. Dia juga mahir menciptakan music. Karena itu dia direkrut oleh Dervin. Alasanku bergabung dengan Avian Flu adalah karena Irwin direkrut Dervin, tapi Irwin menolak untuk bernyanyi jika bukan aku dan Sandy yang mengiringinya. Akhirnya mau tidak mau Dervin harus merekrut kami, awalnya terpaksa, meragukan kualitas bermain musikku dan Sandy. Tapi setelah beberapa sesi ngejam bareng, ternyata kami cocok, dan Dervin berkata dirinya tidak menyesal merekrut Sandy dan aku. Dervin memang orang baik.

Setelah makan, anak-anak itu lalu minta tanda tangan Dervin bergantian, lalu ibon, Irwin, Sandy, terakhir aku. Aku memperhatikan anak perempuan yang chubby tapi tidak gendut yang beberapa kali kudapat sedang menatapku lekat-lekat. Tapi begitu aku balas menatapnya, dia membuang muka. Anak yang aneh. Dia mendekat untuk minta tanda tanganku, dan aku bisa melihat mukanya yang dipenuhi jerawat. Cukup dekat untuk memperhatikan kalau anak itu sebenarnya manis, bahkan dengan jerawat kemerahan di pipinya. Rambutnya diikat ekor kuda, poninya dibiarkan jatuh menutupi matanya. Saat menyerahkan bukunya untuk kutandatangani, anak itu bertanya padaku, “kenapa kk bergabung dengan Avian Flu?”

Pertanyaannya seperti pertanyaan wartawan saja, dan semua wartawan yang telah mewawancaraiku menanyakan hal yang sama. Aku bosan ditanyai terus. Oh Tuhan, tidak pernahkah anak ini baca Koran?

“Baca saja di Koran.” Kataku sambil mencoreti bukunya dengan tanda tanganku, lalu kukembalikan buku dan pulpennya. Anak itu menariknya dari tanganku dengan kasar, dia juga langsung buang muka dan pergi dengan kesal, kesal karena jawabanku tidak memuaskan. Aku sih, tidak peduli.

Dia benar-benar marah, sampai saat dia dan teman-temannya pulang,hanya dia sendiri satu-satunya yang tidak berpamitan atau mengucapkan terimakasih kepadaku.

Sekali lagi, aku tidak peduli.


Elly, Februari 2002
Aku dan teman-temanku berencana main ke studionya Dervin hari ini sepulang sekolah. Ini sudah kelima kalinya kami ke sana, dan kami selalu dijamu dengan baik oleh Dervin, kadang-kadang dia memperbolehkan kami menonton latihan mereka, dengan syarat kami tidak boleh memberitahu orang-orang selain kami berlima yang boleh datang dan main ke studio. Kami setuju. Kami sangat senang bisa melihat idola kami bermain music. Osin dan si kembar teramat sangat menyukai Dervin. Kostar, hanya sekali ikut kami, saat pertama ke studio. Katanya Kostar membenci Dervin karena keluar dari Bagasi, tapi toh tetap saja dia sangat senang saat bisa berada dekat dengna Dervin. Kali ini Kostar tidak ikut, diganti Laras, seorang lagi yang juga sangat gila dengan Bagasi band, tapi ternyata lebih menyukai Irwin. Saat kedua kali kami ke sana dan membawa laras untuk pertama kali, dia dan Irwin selalu terlihat bersama. Laras menyukai Irwin, begitupun Irwin. Tapi sebagai teman yang baik aku selalu mewanti-wanti padanya agar tidak dengan mudah termakan rayuan laki-laki, apalagi seorang Irwin, anak band, yang kelak akan terkenal jika albumnya dengan Avian Flu sudah keluar. Tapi Laras bilang, hanya untuk senang-senang saja, siapa tau bisa dapat tiket konser gratis, katanya. Yah, dia ada benarnya juga.

Hari itu kami ingin melihat Avian Flu latihan, dan aku sangat suka lagunya yang berjudul Lingkaran Cobain. Benar-benar indah, harmoninya, aransemennya. Temponya kadang sedang, kadang ngebeat, dengan nuansa agak gelap dan kelam, tapi liriknya indah. Sepertinya terpengaruh oleh RHCP, tapi juga kadang seperti Keane. Kombinasi yang aneh, bukan? Itulah ajaibnya Dervin. Guitar sound yang kental dengan punk rock, aku akui Yoyo sangat mahir bermain gitar, walaupun perangainya mengesalkan, dan aku suka melihatnya main gitar, dan aku akui dia juga tampan, walau tidak pernah tersenyum sekalipun kepadaku, atau teman-temanku. Dia juga tidak terlalu banyak bicara, tenang, hanya bicara seperlunya. Benar benar sombong. Dan aku benci padanya, kecuali saat bermain gitar. Vokal Irwin juga begitu mempesona, wajar saja banyak gadis tergila-gila padanya, dan Laras termasuk salah satu korbannya.

“Dervinnya lagi keluarr… maaf yahhhh…! Tapi katanya kalau kalian mau makan, boleh kok. Dervin sudah siapkan makanan lebih tuhh…” kat a Irwin menyambut kami. Aku tahu itu bukan karena Irwin baik hati seperti Dervin,tapi karena seorang Laras. Aku tahu karena sikapnya yang sok cool dengan kami, mendadak berubah seketika saat kami membawa Laras saat kedua kalinya kami ke studio. Laras anak yang manis, bertubuh mungil, cerewet, tapi pandai berdandan. Seandainya dia tidak mengenakan seragam putih-biru, maka tak ada seorang pun yang akan menyangka dia anak SMP. Dia modis, dan centil, tipe cewek kesukaan Irwin yang playboy (aku tahu ini dari majalah yahhh). Maka hari itu Irwin sangat baik dan ramah kepada kami.

Osin yang gendut dan si kembar merasa kecewa karena tidak bisa bertemu dengan Dervin, mereka tergila-gila dengannya, terlebih lagi setelah menerima kebaikan Dervin, mereka tidak berhenti berbicara tentang itu di sekolah. Tapi mereka cukup pintar untuk tidak menyebarkan fakta bahwa setiap seminggu sekali kami datang ke studio ini untuk melihat Dervin latihan dengan band barunya, karena mereka—dan kami—sudah berjanji untuk tidak memberitahu teman kami atau siapapun tentang Dervin dan band barunya. Lagipula kalau banyak yang mengetahui hal ini, nantinya kami jadi tidak ekslusif lagi, bukan?
Ali, manajer Avian Flu, yang juga manajernya Dervin, hari itu menjelaskan alasannya kepada kami. Katanya sih karena Dervin sakit hati dengan teman-temannya di Bagasi, karena mengatai Dervin tidak punya kemampuan bermusik apa-apa kalau bukan dengan Bagasi. Akhirnya Dervin berjanji akan membentuk band baru yang lebih besar dan hebat daripada Bagasi, dan akan membuktikan kalau teman-temannya itu salah. Pernah waktu di Jakarta, semua anggota band yang rencananya akan direkrut Dervin, menolak untuk bermain satu band dengannya, karena diancam oleh Bagasi dan manajemennya. Ternyata Dervin disabotase, jadinya Dervin tidak bisa berkembang di Jawa dan memutuskan mencari anggota baru di luar pulau Jawa.

“Bagaimana kalian bisa bertemu dengan Dervin?” tanyaku. Aku bertanya pada Irwin tentu saja, bukan Yoyo, karena aku masih kesal padanya sejak pertama bertemu, dan baru ketemu lagi sekarang sejak kelima kalinya kami ke studio. Dia sombong, dan aku hanya melihatnya saat latihan. Tadi dia yang menyambut kami di pintu depan, tapi tidak ikut masuk. Yah, dia tampan, tapi tidak baik. Tidak sebaik Sandy, atau Irwin, Atau Ibonk. Eh, kemana Sandy dan Ibonk yah? Entahlah.

“Kami dari Balikpapan, Dervin mendengar lagu demo kami dari adik sepupunya yang kebetulan satu kampus dengan kami. Dervin tertarik dengan vocal ku yang indah dan menawan ini… “ katanya membanggakan diri sambil tersenyum lebar “tidak lupa dengan tampangku yang menjual”. Aduhh, Kak Irwin benar-benar narcis!

Sementara si kembar dan Osin dan Laras berbincang-bincang di ruang tengah dengan Irwin dan Pak Ali, aku mendengar suara permainan gitar, dari arah halaman depan. Aku suka gitaris, gitaris favoritku, Andra Ramadhan. Permainan gitarnya sangat indah, diiringi dengan senandung merdu, aku penasaran siapa yang bermain lagu sebagus itu. Ternyata Kak Yoyo.

Dia duduk di halaman, dengan gitar yang penuh tempelan stiker di body-nya. Dia bermain sambil menutup matanya, tidak menyadari keberadaanku. Aku mendengarnya dari balik pintu, ikut terbawa permainannya. Hmm… aku suka. Aku melihatnya, lebih tepatnya mengintip dari kusen jendela, dan aku melihatnya, bersenandung, menciptakan lagu itu, seakan ia bernyanyi dengan gitarnya. Aku tudak pernah mendengarnya bermain dengan gitar akustik, dan ini jauh lebih bagus daripada gitar listrik. Bagaimana mungkin orang yang luar biasa sombongnya bisa bermain sebagus itu?

Aku mendengarkan permainan gitarnya dengan mata tertutup, membayangkan berada di padang rumput yang luas dengan air terjun dan anak sungai yang mengalir jernih, kemudian aku mendengarnya berhenti bermain. Aku membuka mataku, dan melihatnya berdiri di dekatku.

Aku memandangnya, dia balik memandangku. Tidak berkata apa-apa, Aku lalu reflex tersenyum memamerkan gigi-gigiku padanya.

“apa kau bikin di sini?”tanyanya ketus.
“eh., sorry, tadi saya dengar ada orang main gitar. Kirain siapa, ternyata qta’ ..” qta itu dalam bahasa Makassar, artinya kamu, tapi terdengar lebih hormat. Sama seperti sapaan “Sir” di luar negeri.

“Terus kenapa kalau saya?” tanyanya. Tapi kali ini dia mendekt, kesan ketus tidak lagi ada di wajahnya, terlihat lebih bersahabat, dan ia duduk di sebelahku.

“um.. tidak ji.. um.. tidak sangka…”

“tidak sangka apa?”

“umm” aku terdiam, tidak tau mau bilang apa, aku benci padanya, dan aku tidak suka suasana saat aku tertangkap basah menikmati permainan gitarnya “Aku suka”. Tidak tahu kenapa, kata-kata itu keluar dari mulutku. “Aku suka kalau kk main gitar”. Benar, aku sperti disihir, aku benar-benar suka K yoyo yang memainkan music seindah itu. Eh, bukan, aku suka musiknya, bukan orangnya! Aku berusaha mencari pembenaran bagi diriku sendiri. Tapi aku jujur, aku suka K yoyo saat bermain gitar, aku pernah melihat latihan mereka, dan aku akui K yoyo sangat hebat. Tapi tidak sehebat saat dia bermain akustik seperti tadi, membuat aku berkata hal yang tidak seharusnya aku katakan tadi, tidak dalam keadaan seperti ini.

Kyoyo terdiam, seperti tidak menyangka aku berkata seperti itu. Lalu ia tersenyum, senyumnya yang aku lihat untuk pertama kali.

“Terimakasih. Kalau tidak begitu ndak mungkin Dervin rekrut saya kan.”

Sialan, dia keren juga. Aaahhh! Aku benci perasaan ini, perasaan yang muncul di saat yang tidak tepat, kepada orang yang tidak tepat pula. Aku suka K yoyo! Bukan, aku suka permainan gitarnya! Bukan, orangnya, atau senyumnya? Senyumnya manis sekali, betulan ternyata dia tidak seperti yang saya pikir selama ini, dia baik. Aku suka senyumnya. Tulus dan dalam.

Dia duduk di sampingku, memangku gitarnya, lalu bertanya “Elly, kamu suka band apa?”
“Um,, The Beatles..” jawabku.

“wah, jarang ada anak zaman sekarang yang suka sama band lawas,” katanya, tidak tersenyum lagi, tapi juga tidak ketus. “lagu the beatles yang paling kamu suka apa?”

“And I Love Her”

“baiklah. And I Love Her kalau begitu”. Kemudian dia memainkan And I Love Her untukku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar